SOSIOLOGI KLASIK SOLIDARITAS SOSIAL - EMILE DURKHEIM oleh Fani Julia Putri

Sosiologi Klasik : Solidaritas Sosial- Emile Durkheim

diajukan untuk memenuhi  tugas mata kuliah Teori Sosiologi Klasik
dosen pengampu : Prof. Dr. Gurniwan Kamil P, M.Si


disusun oleh :
Fani Julia Putri               NIM    1102345
Moralitawati Fatimah     NIM    1103598
Rismayanti                     NIM    1100821
Rizki Ana Awlijen         NIM    1105006



PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SOSIOLOGI
FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
BANDUNG
2013



Teori Solidaritas Emile Durkheim



  1. The Division of Labor in Society
The Division of Labor in Society (Durkheim, 1893/1964;Gibbs,2003) telah disebut sebagai karya klasik pertama sosiologi. Di dalam karya tersebut, Durkheim mengamati perkembangan relasi modern di antara para individu dan masyarakat. Secara khusus, Durkheim ingin menggunakan ilmu sosiologinya yang baru untuk mengetahui pandangan masyarakat pada saat itu mengenai krisis moralitas modern.
Di Prancis pada masa Durkheim, tersebar luasnya perasaan krisis moral. Revolusi Prancis telah mencerminkan fokus pada hak-hak individu yang sering mengungkapkan diri sebagai suatu serangan kepada otoritas tradisional dan kepercayaan-kepercayaan agamis. Tren itu berlanjut bahkan setelah jatuhnya pemerintahan revolusioner. Pada pertengahan abad kesembilan belas, banyak orang merasa bahwa tatanan sosial terancam karena masyarakat cenderung individualistis dan egois. Dalam waktu kurang dari 100 tahun antara Revolusi Prancis dan masa dewasa Durkheim, Prancis mengalami tiga monarki, dua kekaisaran, dan tiga republik. Rezim-rezim itu menghasilkan empat belas konstitusi. Perasaan mengenai krisis moral dipengaruhi juga oleh kekalahan Prancis, yang mencakup pencaplokan yang dilakukan Prancis pada tempat kelahiran Durkheim. Hal itu di ikuti oleh revolusi yang berlangsung singkat dan keras yang dikenal sebagai Komune Paris. Baik kekalahan maupun revolusi berikutnya di anggap sebagai akibat individualisme yang merajalela.
Menurut Aguste Comte, banyak dari peristiwa di atas dapat di jelaskan melalui pembagian kerja yang semakin bertambah. Di dalam masyarakat sederhana memiliki mata pencaharian yang homogen yaitu bertani. Mereka mempunyai pengalaman yang sama sehingga memiliki nilai-nilai bersama. Sebaliknya, di dalam masyarakat modern setiap orang mempunyai pekerjaan yang berbeda. Setiap individu memiliki tugas yang berbeda dan terspesialisai. Sehingga mereka tidak memiliki pengalaman bersama. Keberagaman itu menghancurkan kepercayaan moral yang seharusnya dimiliki oleh suatu masyarakat. Akibatnya, individu tidak akan berkorban secara sosial pada saat-saat dibutuhkan atau egoisme. Comte menginginkan agar sosiologi menciptakan suatu pseudo-agama yang akan mengembalikan lagi kohesi sosial. Dalam derajat yang besar, The Division of Labor in Society dapat di lihat sebagai suatu penyangkalan atas analisis Comte (Gouldner,1962). Durkheim berpendapat bahwa pembagian kerja tidak melambangkan lenyapnya moralitas sosial, tetapi lebih melambangkan jenis moralitas sosial yang baru.
Tesis The Division of Labor ialah bahwa masyarakat modern tidak di satukan oleh masyarakat yang homogen tetapi sudah heterogen. Pembagian kerja itulah yang menarik setiap individu untuk saling bergantung satu sama lain. Telah tampak bahwa pembagian kerja adalah suatu kebutuhan ekonomis yang merusak perasaan solidaritas, tetapi menurut Durkheim layanan ekonomis tidak begitu penting di bandingkan dengan efek moral yang di hasilkan dan fungsi sebenarnya ialah untuk menciptakan perasaan solidaritas antara dua orang atau lebih.
  1. Kepadatan Dinamis
Pembagian kerja ialah suatu fakta sosial material bagi Durkheim karena merupakan suatu pola interaksi di dalam dunia sosial. Berdasarkan hal tersebut, fakta-fakta sosial harus di jelaskan oleh fakta-fakta sosial yang lain. Durkheim percaya bahwa penyebab peralihan dari solidaritas mekanis ke solidaritas organis ialah kepadatan dinamis. Konsep itu mengacu kepada jumlah orang di dalam suatu masyarakat dan jumlah interaksi yang terjadi di antara mereka. Semakin banyak orang akan mengakibatkan persaingan dalam pemenuhan kebutuhan hidup. Begitu pula semakin banyak interaksi maka semakin berat perjuangan dalam mempertahankan hidup di antara komponen masyarakat yang pada dasarnya sama.
Masalah-masalah yang di hubungkan dengan dinamika interaksi biasanya di pecahkan melalui diferensiasi sehingga munculnya spesialisasi. Munculnya pembagian kerja atau spesialisai memungkinkan orang-orang untuk saling melengkapi, di bandingkan berkonflik dengan satu sama lain. Selanjutnya, pembagian kerja yang bertambah menghasilkan efisiensi yang lebih besar. Akibatnya sumber-sumber daya bertambah  dan membuat persaingan di antara mereka lebih damai.
Hal itu menunjukkan perbedaan final antara solidaritas mekanis dan organis. Pada masyarakat organis, kurangnya persaingan dan diferensiasi yang lebih banyak memungkinkan individu untuk saling bekerja sama dan semua individu di dukung oleh sumber daya yang sama. Karena itu dalam masyarakat organis perbedaan lebih banyak dari pada persamaannya. Maka dalam solidaritas organis ada lebih banyak solidaritas dan juga lebih banyak pula indivualitasnya di bandingkan dengan masyarakat solidaritas mekanis. Sehingga individualitas bukanlah lawan dari ikatan-ikatan sosial yang erat melainkan suatu persyaratan untuk itu.

  1. Fakta Sosial
Istilah fakta sosial pertama kali di perkenalkan oleh Emile Durkheim. Ia mengartikannya sebagai suatu cara bertindak yang tetap atau sementara yang memiliki kendala dari luar (constraint). Fakta sosial di sebut juga suatu cara bertindak yang umum dalam suatu masyarakat yaitu   individu yang bebas dari manifestasi individual.
Durkheim menyajikan contoh-contoh dari fakta sosial yaitu pendidikan anak sejak bayi. Seorang anak diwajibkan makan, minum, tidur pada waktu tertentu, diwajibkan taat dan menjaga ketenangan serta kebersihan, di haruskan tenggang rasa terhadap orang lain, menghormati adat dan kebiasaan. Di sini kita dapat menemukan unsur-unsur yang di kemukakan oleh Durkheim yaitu ada cara bertindak, berpikir dan berperasaan yang bersumber pada suatu kekuatan di luar individu, bersifat memaksa dan mengendalikan individu, dan berada diluar kehendak pribadi individu. Seorang anak yang tidak menaati cara yang diajarkan padanya akan mengalami sanksi dari suatu kekuatan luar misalnya orang tuanya.
            Contoh dari fakta sosial lainnya ialah hukum, moral, kepercayaan, adat istiadat, tata cara berpakaian dan kaidah ekonomi. Fakta sosial tersebut mengendalikan dan memaksa individu, karena bila melanggarnya ia akan terkena sanksi. Fakta sosial inilah yang menurut Durkheim menjadi pokok perhatian sosiologi. Sehingga metode yang harus di tempuh untuk mempelajari fakta sosial seperti metode untuk meneliti suatu fakta sosial, menjelaskan fungsinya dan juga untuk menjelaskan faktor penyebabnya. Contohnya dalam buku Sucide (1968) yaitu menjelaskan tentang penyebab terjadinya suatu fakta sosial yang konkret, angka bunuh diri.
Masyarakat secara paling sederhana di pandang oleh Durkheim sebagai kesatuan intergral dari fakta-fakta sosial itu. Masyarakat memiliki “kesadaran kolektif” yang membuahkan nilai-nilai dan menjadikan nilai-nilai tersebut sebagai sesuatu yang ideal bagi individu.
Durkheim pun menjadikan fakta solidaritas sosial sebagai unsur dasar dalam masyarakat. Ia membagi masyarakat ke dalam dua tipe utama dengan cara pembagian yang mirip dengan yang dilakukan Tonnies yaitu solidaritas mekanis dan solidaritas organis.
Kedua jenis masyarakat hasil rumusannya itu dianalisis oleh dirinya untuk menjawab permasalahan mengenai bagaimana caranya suatu transformasi solidaritas sosial dapat terjadi serta bagaimana menentukan keadaan proses transformasi itu. Dia percaya bahwa bila penduduk berkembang lebih banyak, maka masyarakat akan lebih kompleks. Pembagian kerja akan sebanding dengan volume dan kepadatan masyarakat. Lebih dari itu, pertumbuhan sosial terjadi pula dengan adanya kondensasi masyarakat. Formasi-formasi demikian menuntut adanya pembagian kerja yang lebih besar.

  1. Soldaritas Mekanis dan Solidaritas Organis

Konsep-konsep dalam The Division of Labor di lanjutkan Durkheim dalam The Rules of Sociological Method (1895). Solidaritas sosial di pandang sebagai perpaduan kepercayaan dan perasaan yang di miliki para anggota suatu masyarakat tertentu. Rangkaian kepercayaan ini membentuk suatu sistem dan memiliki “ruh” tersendiri. Pada kajian lebih dalamnya, Durkheim mengemukakan pernyataan yang lebih meyakinkan mengenai hakikat fakta-fakta sosial dan  juga menetapkan kriteria metode analisinya. Hasilnya adalah sebuah statemen terbaik untuk mengungkapkan positivistik yang di terapkan di zamannya. Prestasi lainnya adalah di perolehnya kepastian bahwa solidaritas sosial harus di analisis sampai kebeberapa unsur komponennya.            
Berdasarkan analisis Durkheim, persoalan tentang solidaritas di kaitkan dengan sanksi yang di berikan kepada warga yang melanggar peraturan dalam masyarakat. Bagi Durkhem indikator yang paling jelas untuk solidaritas mekanis adalah ruang lingkup dan kerasnya hukum-hukum dalam masyarakat yang bersifat menekan (represif). Hukum-hukum ini mendefinisikan setiap perilaku penyimpangan sebagai sesuatu yang bertentangan dengan nilai serta mengancam kesadaran kolektif masyarakat. Hukuman represif tersebut sekaligus bentuk pelanggaran moral oleh individu maupun kelompok terhadap keteraturan sosial (sosial order). Sanksi dalam masyarakat dengan solidaritas mekanis tidak di maksudkan sebagai suatu proses yang rasional.
Hukuman tidak harus merepresentasikan pertimbangan rasional dalam masyarakat. Hukum represif dalam masyarakat mekanis tidak termasuk pertimbangan yang di berikan yang sesuai dengan bentuk pelanggarannya. Sanksi atau hukuman yang di kenakan kepada orang yang menyimpang dari keteraturan, tidak lain merupakan bentuk atau wujud kesadaran kolektif masyarakat terhadap tindakan individu tersebut.
Pelanggaran terhadap kesadaran kolektif merupakan bentuk penyimpangan dari homogenitas dalam masyarakat. Karena dalam analisis Durkheim, ciri khas yang paling penting dari solidaritas mekanis itu terletak pada tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, sentimen, dan sebagainya. Homogenitas serupa itu hanya mungkin kalau pembagian kerja (division of labor) bersifat terbatas.
Model solidaritas seperti ini biasa di temukan dalam masyarakat primitif atau masyarakat tradisional yang masih sederhana. Dalam masyarakat seperti ini pembagian kerja hampir tidak terjadi. Seluruh kehidupan di pusatkan pada sosok kepala suku. Pengelolaan kepentingan kehidupan sosial bersifat personal. Keterikatan sosial terjadi karena kepatuhan terhadap nilai-nilai tradisional yang dianut oleh masyarakat. Demikian juga sistem kepemimpinan yang di laksanakan berjalan secara turun-temurun.
Potret solidaritas sosial dalam konteks masyarakat dapat muncul dalam berbagai kategori atas dasar karakteristik sifat atau unsur yang membentuk solidaritas itu sendiri. Veeger, K.J. (1992) mengutip pendapat Durkheim yang membedakan solidaritas sosial dalam dua kategori :
1.      Solidaritas mekanis
Solidaritas mekanis ini, terjadi dalam masyarakat yang memiliki ciri khas keseragaman pola-pola relasi sosial, memiliki latar belakang pekerjaan yang sama dan kedudukan semua anggota. Apabila nilai-nilai budaya yang melandasi relasi mereka, dapat menyatukan mereka secara menyeluruh. Maka akan memunculkan ikatan sosial yang kuat dan di tandai dengan munculnya identitas sosial yang kuat pula. Individu menyatukan diri dalam kebersamaan, sehingga tidak ada aspek kehidupan yang tidak diseragamkan oleh relasi-relasi sosial yang sama. Individu melibatkan diri secara penuh dalam kebersamaan pada masyarakat. Karena itu, tidak terbayangkan bahwa hidup mereka masih dapat berlangsung apabila salah satu aspek kehidupan di pisahkan dari kebersamaan.
Solidaritas mekanis menunjukan berbagai komponen atau indikator penting. Contohnya yaitu, adanya kesadaran kolektif yang di dasarkan pada sifat ketergantungan individu yang memiliki kepercayaan dan pola  normatif yang sama. Individualitas tidak berkembang karena di hilangkan oleh tekanan aturan atau hukum yang bersifat represif. Sifat hukuman cenderung mencerminkan dan menyatakan kemarahan kolektif yang muncul atas penyimpangan atau pelanggaran kesadaran kolektif dalam kelompok sosialnya.
Singkatnya, solidaritas mekanis di dasarkan pada suatu “kesadaran kolektif” (collective consciousness) yang di lakukan masyarakat dalam bentuk kepercayaan dan sentimen total di antara para warga masyarakat. Individu dalam masyarakat seperti ini cenderung homogen dalam banyak hal. Keseragaman tersebut berlangsung terjadi dalam seluruh aspek kehidupan, baik sosial, politik bahkan kepercayaan atau agama.
Doyle Paul Johnson (1994), secara terperinci menegaskan indikator sifat kelompok social atau masyarakat yang di dasarkan pada solidaritas mekanis, yakni :
a)      Pembagian kerja rendah
b)      Kesadaran kolektif kuat
c)      Hukum represif dominan
d)     Individualitas rendah
e)      Konsensus terhadap pola normatif penting
f)       Adanya keterlibatan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang
g)      Secara relatif sifat ketergantungan rendah
h)      Bersifat primitif atau pedesaan.
Contoh masyarakat solidaritas mekanis dan organis. Yaitu masyarakat yang memiliki pola pembagian kerja yang sedikit, seperti pada masyarakat desa. Masyarakat desa memiliki homogenitas pekerjaan yang tinggi misalnya sebagai petani. Karena kesamaan yang dimiliki oleh masyarakat desa, membuat membuat kesadaran kolektif antara individu di dalam masyarakat itu sangat tinggi. Masyarakat desa juga homogenitas dalam hal kepercayaan di bandingkan masyarakat kota. Homogenitas itulah yang mepersatukan masyarakat desa.
2.      Solidaritas organis
Solidaritas organis terjadi di masyarakat yang relatif kompleks dalam kehidupan sosialnya namun terdapat kepentingan bersama atas dasar tertentu. Pada kelompok sosialnya, terdapat ciri-ciri tertentu, yaitu :
a)      Adanya pola antar-relasi yang parsial dan fungsional
b)      Terdapat pembagian kerja yang spesifik,
c)      Adanya perbedaan kepentingan, status, pemikiran dan sebagainya.
Perbedaan pola relasi-relasi dapat membentuk ikatan sosial dan persatuan melalui pemikiran yang membutuhkan kebersamaan serta diikat dengan kaidah moral, norma, undang-undang, atau seperangkat nilai yang bersifat universal. Karena itu, ikatan solidaritas tidak lagi menyeluruh, melainkan terbatas pada kepentingan bersama yang bersifat parsial.
Solidaritas organis muncul karena pembagian kerja bertambah besar. Solidaritas ini di dasarkan pada tingkat saling ketergantungan yang tinggi. Ketergantungan ini di akibatakan karena spesialisasi yang tinggi di antara keahlian individu. Spesialisasi ini juga sekaligus mengurangi kesadaran kolektif yang ada dalam masyarakat mekanis. Akibatnya, kesadaran dan homogenitas dalam kehiduan sosial tergeser. Keahlian yang berbeda dan spesialisasi itu, munculah ketergantungan fungsional yang bertambah antara individu-idividu yang memiliki spesialisasi dan secara relatif lebih otonom sifatnya. Menurut Durkheim itulah pembagian kerja yang mengambil alih peran yang semula di dasarkan oleh kesadaran kolektif.
Contoh dalam solidaritas organis ialah perusahaan dagang. Alasan yang mempersatukan organisasi itu kemungkinan besar ialah motivasi-motivasi anggotanya. Keinginan mereka akan imbalan ekonomi yang akan di terima atas partisipasinya, dan di dalam organisasi dagang masing-masing anggotanya akan merasa tergantung satu dengan yang lain. Misalnya dalam suatu pabrik, ada kecenderungan orang berada di mesin teknisi, pengawas, penjual, orang yang memegang pembukuan, sekretaris, dan seterusnya. Semua kegiatan mereka memiliki hubungan spesialisasi dan saling ketergantungan. Sehingga sistem tersebut membentuk solidaritas menyeluruh yang berfungsi berdasarkan pada saling ketergantungan.
Contoh lainnya yaitu dalam masyarakat dengan solidaritas mekanis, proses perubahan kepemimpinan di lakukan secara turun temurun dari kepala suku atau etua adat. Berbeda dengan masyarakat organis proses suksesi kepemimpinan di lakukan dengan melibatkan partisipasi masyarakat atau individu. Contohnya seperti pemilihan umum presiden dan wakil presiden di Indonesia melalui Pemilu yang melibatkan seluruh warga Negara Indonesia.

Karl Manheim lebih mencermati pandangan Durkheim, di mana dalam solidaritas organis di ciptakan pembagian kerja dalam kelompok sosial. Pembagian kerja tersebut membagi aktivitas yang mulanya hanya dilaksanakan oleh satu individu menjadi lebih besar dengan bagian-bagian yang saling melengkapi satu sama lain. Pembagian kerja akan menimbulkan sebuah integrasi sosial yang kuat, secara fungsional di butuhkan untuk saling melengkapi. Karena itu untuk memunculkan suatu solidaritas sosial dalam kelompok berdasarkan kepentingan bersama yang sifatnya tertentu.
Nampak bahwa pada solidaritas organis menekankan tingkat saling ketergantungan yang tinggi, akibat dari spesialisasi pembagian pekerjaan dan perbedaan di kalangan individu. Perbedaan individu akan mengurangi kesadaran kolektif, yang tidak penting lagi sebagai dasar untuk keteraturan sosial. Kuatnya solidaritas organis menurut Durkheim di tandai dengan eksistensi hukum yang bersifat restitutif atau memulihkan, melindungi pola ketergantungan yang kompleks antara berbagai individu yang terspesialisasi atau kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Doyle Paul Johnson pun secara terperinci menegaskan indikator sifat kelompok sosial atau masyarakat pada solidaritas organis, yakni;
a)         Pembagian kerja tinggi;
b)         Kesadaran kolektif lemah;
c)         Hukum restitutif/memulihkan dominan;
d)        Individualitas tinggi;
e)         Konsensus pada nilai abstrak dan umum penting;
f)          Badan-badan kontrol sosial menghukum orang yang menyimpang;
g)         Saling ketergantungan tinggi; dan
h)         Bersifat industrial perkotaan.
Agar lebih jelasnya berikut ini adalah perbedaan solidaritas mekanis dan solidaritas organis :
Solidaritas Mekanis
Solidaritas Organis
a.) Relatif berdiri sendiri (tidak bergantung pada orang lain) dalam keefisienan kerja.
b.) Terjadi di masyarakat sederhana.
c.) Ciri dari masyarakat tradisional           (pedesaan)
d.) Kerja tidak terorganisir
e.) Beban lebih berat
f.) Tidak bergantung dengan orang lain


a.) Saling keterkaitan dan mempengaruhi dalam keefisienan kerja.
b.) Di langsungkan oleh masyarakat yang kompleks.
c.) Ciri dari masyarakat modern (perkotaan).
d.) Kerja terorganisir dengan baik.
e.) Beban ringan.
f.) Banyak saling bergantungan dengan yang lain

Dapat di simpulkan bahwa solidaritas mekanis di bentuk oleh masyarakat yang masih memiliki kesadaran kolektif yang sangat tinggi, kepercayaan yang sama, cita-cita dan komitmen moral. Masyarakat yang menggunakan solidaritas mekanis, mereka melakukan aktifitas yang sama dan memiliki tanggung jawab yang sama.
Sebaliknya, solidaritas organis di bentuk karena semakin banyak dan beragamnya pembagian kerja. Sehingga pembagian kerja tersebut membuat spesialisasi pekerjaan di dalam masyarakat yang menyebabkan kesadaran kolektif menjadi menurun. Semua kegiatan spesialisasi mereka berhubungan dan saling tergantung satu sama lain, sehingga sistem tersebut membentuk solidaritas menyeluruh yang berfungsi didasarkan pada saling ketergantungan.
  1. Hukum Refresif dan Restitutif
Durkheim menghubungkan persoalan solidaritas organis dengan fenomena pemberian hukuman atau sanksi. Kuatnya solidaritas organis di tandai oleh munculnya hukum yang bersifat memulihkan (restitutive) bukan yang bersifat represif. Kedua model hukum pada prakteknya juga memiliki tujuan yang berbeda.
Hukum represif yang di jumpai dalam masyarakat mekanis ialah ungkapan dari kemarahan kolektif masyarakat. Sementara hukum restitutif berfungsi untuk  mempertahankan atau melindungi pola saling ketergantungan yang kompleks antara sejumlah individu yang memilki spesialisasi tersebut. Karena itu sifat sanksi yang di berikan kepada individu yang melanggar keteraturan dalam dua kategori masyarakat ini juga berbeda. Tipe sanksi dalam masyarakat mekanis bersifat restitutif sebagaimana di kemukan Durkheim: “bukan bersifat balas dendam, melainkan sekedar memulihkan keadaan”.
Kemarahan kolektif tidak mungkin terjadi dalam masyarakat dengan tipe organis, karena masyarakat sudah hidup dengan kesadaran individual bukan kesadaran kolektif. Sebagai gantinya masyarakat dengan tipe solidaritas organis mengelola kehidupan secara rasional. Karena itu, bentuk hukumannya pun bersifat rasional di sesuaikan dengan bentuk pelanggaran tersebut. Pelaksanaan sanksi tersebut bertujuan untuk memulihkan atau melindungi hak-hak dari pihak yang dirugikan.
Maka dari itu akan dengan adanya hukuman tersebut akan memulihkan kondisi ketergantungan fungsional dalam masyarakat. Durkheim menjelaskan bahwa bentuk solidaritas tersebut terutama dalam masyarakat modern. Pola-pola restitutif ini nampak dalam hukum dan peraturan-peraturan kepemilikan, hukum kontrak, perdagangan dan peraturan administratif atau prosedur-prosedur dalam sebuah institusi masyarakat modern.
Peralihan dari hukum represif menuju hukum restitutif seiring sejalan dengan semakin bertambahnya kompleksitas dalam masyarakat. Kompleksitas tersebut berdampak pada pembagian kerja (divison of labor) yang semakin beragam pula.
  1. Normal dan Patologis
Pemikiran Durkheim yang paling kontroversial ialah bahwa sosiolog mampu membedakan antara masyarakat yang sehat dan patologis. Setelah menggunakan buku itu di dalam The Division of Labor, Durkheim menulis buku lain yaitu The Rules of Sosiological Method (1895-1982). Di dalam buku tersebut, Durkheim mencoba membela ide itu. Dia mengklaim bahwa masyarakat yang sehat dapat di kenali karena sosiolog akan menemukan kondisi-kondisi serupa di dalam masyarakat lain pada tahap-tahap yang serupa. Apabila suatu masyarakat menyimpang dari apa yang di temukan mungkin masyarakat itu patologis.
Ide tersebut bersifat kontroversial sehingga di tentang pada masa itu dan hanya segelintir sosiolog yang mendukungnya. Namun Durkheim pun   tidak lagi berusaha membela idenya yang kontroversial. Hal itu terbukti dengan prakatanya untuk edisi ke dua The Rules : “ Tampaknya tidak berarti bagi kami kembali ke kontroversi-kontroversi lain yang telah dimunculkan buku ini, karena hal itu tidak menyentuh hal yang hakiki. Orientasi umum metode itu tidak bergantung pada prosedur-prosedur yang lebih suka mengklasifikasi tipe-tipe sosial atau membedakan hal yang normal dari patologis”.
Akan tetapi, ada satu ide yang menarik yang di ambil Durkheim dari idenya itu. Ide yang menunjukan bahwa kejahatan adalah normal (Smith:2008) ketimbang patologis. Dia berargumen bahwa karena kejahatan di temukan di setiap masyarakat, kejahatan pastilah normal dan memberikan suatu fungsi yang berguna. Durkheim mengklaim, kejahatan membantu masyarakat mendefinisikan dan menggambarkan nurani kolektif mereka.
Di dalam The Division of Labor, dia menggunakan ide patologi untuk mengkritik beberapa bentuk “abnormal” pembagian kerja yang di terima di dalam masyarakat modern. Dia mengenali tiga bentuk abnormal yang mana Durkheim bersikeras bahwa krisis modernitas  oleh Comte dan orang-orang lain di samakan dengan pembagian kerja, sebenarnya di sebabkan oleh bentuk-bentuk abnormal tersebut.
Ketiga bentuk abnormal itu ialah :
a.       Pembagian kerja anomik
Pembagian kerja ini mengacu kepada kurangnya pengaturan di dalam suatu masyarakat yang mengenal individualitas yang terisolasi dan menahan diri dari mengatakan apa yang harus di lakukan orang-orang. Durkheim mengembangkan lebih lanjut konsep anomie itu di dalam karyanya bunuh diri yang di diskusikan nanti. Di dalam kedua karya itu, dia menggunakan istilah anomie untuk mengacu kondisi-kondisi sosial ketika manusia kekurangan pengendalian moral yang memadai ( Bar-Haim, 1997; Hilbert, 1986). Bagi Durkheim, masyarakat modern selalu condong kepada anomie, tetapi ia tampil ke permukaan pada masa-masa krisis sosial dan ekonomi.
Tanpa moralitas bersama yang kuat dari solidaritas mekanis, mungkin orang-orang tidak mempunyai konsep yang jelas mengenai apa yang tepat dan tidak tepat dan perilaku yang dapat diterima. Meskipun pembagian kerja adalah suatu sumber kohesi di dalam masyarakat modern, pembagian kerja tidak dapat menutupi secara keseluruhan kelemahan moralitas bersama. Setiap individu dapat menjadi terasing dan terbawa di dalam kegiatan-kegiatan yang terspesialisasi. Mereka dapat dengan mudah berhenti merasakan ikatan umum dengan orang-orang yang bekerja dan yang tinggal di sekitarnya. Hal itu memunculkan anomie. Solidaritas organis condong kepada patologi yang khusus itu. Pembagian kerja modern mempunyai kemampuan untuk mendorong interaksi-interaksi moral yang bertambah dari pada mereduksi orang kepada tugas-tugas dan posisi-posisi yang mengasingkan dan tidak bermakna.
b.      Pembagian kerja yang di paksakan
Durkheim percaya bahwa masyarakat membutuhkan aturan-aturan dan pengaturan untuk mengatakan kepada mereka apa yang harus dilakukan. Bentuk abnormal ini menunjukan sejenis aturan yang dapat menyebabkan konflik dan pengasingan sehingga menambah anomie. Patologi ini mengacu pada fakta bahwa norma-norma dan pengalaman-pengalaman yang sudah ketinggalan zaman dapat memaksa para individu, kelompok, dan kelas-kelas ke dalam posisi-posisi yang tidak cocok dengan mereka. Tradisi-tradisi, kekuasaan ekonomi atau status dapat menentukan siapa yang melaksanakan pekerjaan-pekerjaan dengan mengabaikan bakat dan kualifikasi. Disinilah Durkheim datang paling dekat dengan pendirian Marxis.
Apabila satu kelas di haruskan agar dapat bertahan hidup ia akan membayar harga apapun untuk pekerjaannya. Sementara kelas yang lain dapat mengabaikan situasi itu, karena sumber-sumber daya sudah siap di gunakan, sumber-sumber daya yang bagaimanapun tidak perlu sebagai hasil suatu superioritas sosial. Kelompok yang superior tersebut mempunyai keuntungan yang tidak adil atas kelompok yang pertama berkenaan dengan hukum.
c.       Pembagian kerja yang di koordinasikan dengan buruk
Bentuk pembagian kerja ini jelas ketika fungsi-fugsi yang terspesialisasi di laksanakan oleh orang-orang yang berbeda yaitu di koordinasikan dengan buruk. Sekali lagi Durkheim mengingatkan bahwa solidaritas organis mengalir dari saling ketergantungan masyarakat. Apabila spesialisasi orang-orang tidak menghasilkan saling ketergantungan yang meningkat tetapi hanya suatu pengasingan, maka pembagian kerja tersebut tidak menghasilkan solidaritas sosial.
  1. Keadilan
Agar pembagian kerja berfungsi sebagai kekuatan moral dan menekankan secara sosial di masyarakat konsep modern, anomie, pembagian kerja yang dipaksakan, dan koordinasi spesialisasi yang tidak tepat harus diperhitungkan. Masyarakat modern tidak lagi di satukan oleh pengalaman-pengalaman bersama dan kepercayaan-kepercayaan bersama. Sebagai gantinya, mereka di persatukan melalui perbedaan-perbedaan mereka sendiri, selama perbedaan-perbedaan itu di izinkan berkembang dalam suatu cara yang mendorong saling ketergantungan. Kunci bagi hal tersebut untuk Durkheim adalah keadilan sosial.
Maka, tugas bagi masyarakat yang paling maju adalah suatu pekerjaan mewujudkan keadilan. Sebagaimana ide mengenai masyarakat-masyarakat yang lebih rendah ialah menciptakan atau memelihara sekuat tenaga kehidupan bersama, yang menyerap individu. Begitu juga cita-cita masyarakat adalah membuat relasi-relasi sosial selalu lebih pantas, sehingga menjamin perkembangan bebas seluruh kekuatan kita yang bermanfaat secara sosial.
Moralitas, solidaritas sosial, keadilan, hal itu adalah tema-tema besar untuk seseorang yang akan bekerja. Durkheim berkali-kali kembali kepada ide-ide tersebut di dalam karyanya, tetapi dia tidak akan pernah melihatnya dalam kaitannya dengan masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Dia memprediksi dalam bukunya yang kedua,  The Rules Sociological Method bahwa sosiologi sendiri akan takluk kepada pembagian kerja dan terpecah menjadi suatu koleksi spesialitas-spesialitas. Apakah hal itu menimbulkan saling ketergantungan yang bertambah dan solidaritas organis di dalam sosiologi, masih merupakan pertanyaan yang terbuka.
  1. Pilar pendukung masyarakat
Dalam buku Teori-teori Kebudayaan dipaparkan tentang pemikiran Emile Durkeim tentang masyarakat, terdapat 4 pilar-pilar utama pendukung masyarakat budaya, yaitu :
a.       The Sacred ( yang keramat )
            The sacred  ialah nilai-nilai yang di sepakati yang berperan menjaga keutuhan dan ikatan sosial sebuah masyarakat serta secara normatif mengendalikan gerakan dinamika sebuah masyarakat. Nilai-nilai tersebut adalah nilai yang disakralkan atau disucikan. Hal yang sakral itu dapat berupa simbol utama, nilai-nilai, dan kepercayaan yang menjadi inti sebuah masyarakat.
b.       Klasifikasi
            Klasifikasi masyarakat yang paling primordial di dasarkan pada dimensi normatif dan religius. Dimensi normatif dan religius itu menjadi gambaran umum yang terdapat dalam kesadaran kolektif masyarakat. Jadi, dengan adanya tindakan simbolik menghukum dan hukuman yang berguna untuk menyadarkan kembali masyarakat pada tuntutan moral dan untuk menjaga persatuan komunitas yang di butuhkan secara sosial dan kultural.
c.        Ritus
            Ritus ialah kesatuan yang dibangun atas dasar kepentingan bersama yang suci. Bentuknya seperti perayaan-perayaan, festival, dan acara-acara budaya dalam masyarakat. Ritus di adakan secara kolektif dan regular agar masyarakat peka akan pengetahuan dan makna-makna kolektif. Di dalam ritus di hadirkan kembali makna realitas dan ikatan sosial dalam masyarakat ( makna sosial ). Ritus merupakan proses rekreasi masyarakat, yaitu melalui bentuk-bentuk ritus tersebut.

d.       Ikatan Solidaritas
            Pemahaman solidaritas dalam pemikiran budaya Durkheim hanya mungkin di tempatkan dalam hal the sacred yaitu  ikatan primordial yang mempersatukan masyarakat. Sebenarnya, ketika membicarakan klasifikasi (the sacred and the profane), kita sudah menyentuh satu bagian solidaritas yaitu solidaritas  terluka. Kejahatan dalam sebuah masyarakat di rasakan sebagai luka bagi seluruh anggota masyarakat tersebut. Solidaritas yang terluka di akibatkan karena terjadinya pelanggaran terhadap the sacred.
             Gejala-gejala sosial kerap ditafsirkan dengan perspekif religius.Terlebih masyarakat akan berpaling pada agama untuk mencari jawaban atas kompleksitas sosial yang rumit. Semakin permasalahan itu utama dalam kehidupan sosial, semakin agama dengan mudah ditemukan (walaupun agama belum tentu dapat menyelesaikan masalah tersebut). Artinya, agama menemukan makna aktualnya dalam interaksi dengan  masyarakat. Agama menurut Durkheim, merupakan representasi kolektif masyarakat. Agama dikaitkan dirinya dengan aspek politis yaitu keseluruhan masyarakat. Jelas bagi kita bahwa agama dapat menjadi ikatan solidaritas masyarakat. Terlebih lagi, agama memiliki fungsi regulatif yang dapat menjadi batas antara yang diterima dan tidak diterima. Menurut Durkheim agama dalam pengertian luas dapat ditemukan dalam setiap kelompok.
            Dengan demikian, tampak bahwa the sacred merupakan bagian dan dinamika kesadaran kolektif yang di libatkan secara prinsipial untuk memahami dan menghayati realitas dunianya. Dapat dikatakan bahwa the sacred merupakan bagian dari kesadaran kolektif.
            Solidaritas masyarakat selain dibentuk oleh civil religion juga bersumber dari memori kolektif. The sacred sebagai suatu nilai kultural kolektif dan pengikat idenditas di abadikan dalam memori kolektif. The sacred bersumber dari peristiwa sejarah yang biasanya di modifikasi oleh kelas otoritas, merekalah yang memprodukasi makna kolektif atas sebuah peristiwa sebagai suatu yang keramat. Makna kolektif itu dapat merajai memori kolektif karena ada sharing of experience, yaitu merasakan pengalaman yang sama atau berkat proses sosialisasi. Sosialisasi ini di pelihara turun-temurun melalui perayaan, ritus-ritus, upacara-upacara, serta penulisan sejarah yang bertujuan mengabadikan masa lalu. Begitulah proses transfer makna kolektif. Karena itu memori kolektif sebagai salah satu simpul merupakan kondisi yang semakin memungkinkan keutuhan masyarakat berkat adanya identitas yang sama (the common source of identity).
Sehingga menurut Soerjono Soekanto (1985) bahwa masyarakat bukanlah semata-mata merupakan penjumlahan individu-individu belaka. Sistem yang dibentuk oleh asosiasinya merupakan suatu realitas khusus dengan karakteristik tertentu. Dapat di katakan benar bahwa sesuatu yang bersifat kolektif tidak akan mungkin timbul tanpa kesadaran individual. Kesadaran itu harus di kombinasikan dengan cara tertentu  kehidupan sosial.



DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik & Der Leeden , A. C. Van. 1986. Durkheim dan Pengantar Sosiologi
           Moralitas, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
Garna, Judistira K. 1994.  Materi Kuliah Teori-teori Ilmu Sosial. Bandung: Program
Pascasarjana Universitas Padjadjaran
Paul Johnson, Doyle.1986. Teori Sosiologi Klasik dan Modern. Jakarta: Penerbit PT Gramedia
Ritzer, George dan Goodman, Douglas J. 2008. Teori Sosiologi Dari Teori Sosiologi Klasik Soekanto, Soerjono.1985. Emile Durkheim: Aturan-aturan Metode Sosiologis. Jakarta: Rajawali
Sampai Perkembangan Mutakhir Teori Sosial Postmodern. Bantul: Kreasi Wacana.
Anonim. 2011. Solidaritas Mekanis dan Solidaritas Organis Emile Durkheim. [online] Tersedia :
Ayyizieta.2012. Teori Sosiologi Klasik Emile Durkheim. [online] Tersedia :
( 5 September 2013)
Wikipedia. 2013. Emile Durkheim. . [online] Tersedia :




Komentar

Postingan Populer